Berbagi Ilmu dan Cerita

Jumat, 24 Februari 2017

Antar Aku ke Sekolah

08.55 Posted by Faith, Hope and Love No comments
Bapaku
Bapak, panggilanku kepada seseorang yang nampak lelah, lesu dan terkadang  ceria dengan joke-joke garingnya. Saat itu tak kusangka dan tak kusadari makin hari tubuh bapak makin kurus. Mungkin karena jadwal kerja kita dari pukul 8 sampai 3 dini hari. Dimasa kecilku yang selalu ditinggal merantau orang tua yang terbayang adalah bapak itu sangat gagah perkasa. Badanya berotot, pundanya lebar legam dan lenganya besar sekali. ingatan yang tergambar saat masa kecil dulu di kampung halaman ditinggal merantau olehnya. Saat ini, aku bersamanya. ternyata ingatanku salah. Bapak bertambah menua dan bertambah rentan. Ototnya yang dulu telah hilang. Perut kotak kotaknya dulu juga hilang dadanya yang bidang juga hilang. Yang nampak wajah yang sedikit pucat dan rambut beruban.
Kepiluanku bertambah ketika 1 tahun yang lalu bertepatan setelah pernikahan kakaku yang ketiga, bapak divonis leukimia. Shock mendera seluruh keluarga, kecuali ibu dan bapak. Seluruh kakak-kakaku, yang pertama, kedua dan yang ketiga menangis semua mendengar kabar itu dari dokter ahli penyakit dalam rumas sakit darmais. Cuma aku yang melamun berdiam melihati tangisan mereka. Bukan karena aku tak sedih. Tapi takut menulari kesedihan dan ketakutan kepada ibu dan bapak yang menunggu diluar ruangan. Kita sepakat untuk tidak memberikan tahu hal ini kepada bapak dan ibu. Kakak pertama menyuruhku mengantar ibu dan bapak ke mobil. Ibuku dan bapaku bukanlah orang yang terpelajar. Ibuku tidak pernah sekolah dan bapaku Cuma pernah sekolah rakyat tapi tidak lulus. Sehingga mereka sangat mengharapkan aku menjadi anak yang pintar dan berguna seperti dokter. Dan tidak senasip seperti mereka.
Dimasa kecilku bapak adalah sosok yang humoris dan penyayang, bapak tidak pernah memarahiku, bapak selalu tersenyum dan sangat kuat. Hal yang tak terlupakan saat pertama kali aku masuk SD. Aku takut dan bingung. Karena aku  hadir dalam lingkungan baru. Saat usiaku 1 sampai 5 tahun aku tinggal di kota Tangerang. Karena biaya sekolah disana pada waktu itu sangat mahal ibu dan bapak tak punya pilihan selain menyekolahkan ku dikampung dan hidup besama nenek.
Diharipertamaku di kampung, aku tak punya teman. Bapak dan ibulah satu satunya temanku orang benar ku kenal bahkan kepada nenek, kakak ketiga dan kedua aku merasa asing.
Disuatu pagi ibu memandikanku, mendadaniku, menyisir rambut dan memakikanku tas ransel bergambar Power Rangers. Aku menduga pasti aku akan sekolah. Aku mengatakan pada ibu aku tak mau sekolah karena takut.meski saat itu kakak ketigaku duduk dikelas 6, tapi aku tetap tak mau, sehingga kakaku berangkat duluan. Akhirnya bapak meyakinkanku. Sampai-sampai bapak harus meminjam sepeda ontel tua milik kakek. Biar aku tidak takut katanya bapak mau nganter aku sekolah.
Kakeku, mbah Diyo namanya, sepedanya sangat tua seperti kakek juga sangat  tua, selalu membawa tongkat jika berjalan, yang aku ingat sepedanya sudah karatan semua warnanya coklat, sangat tinggi, rodanya besar dan pipih. Aku diangkat ibu lalu didudukan di boncengan belakang yang tidak ada busanya hanya besi saja. Kakiku diikat agar tidak masuk dalam jeruji roda. Sebelum berangkat ibu menciumku dan memasuka beberapa ratus rupiah kedalam sakuku, "sekolah seng pinter le sok ben dadi dokter" kata ibu. Aku berangkat dan hatiku sangat berdebar. Kampung halaman tempat aku dilahirkan tanpa mengenal satu kawan pun disini. Bahkan bahasa jawaku saat itu sangatlah buruk. Masih campur bahasa Indonesia. Semakin dalam takutku.
Bapak menaiki sepeda, dengan mendorong sepeda dan langsung loncat kesedelnya. Waaahhh... senangnya hatiku. Tak menyaka dibonceng sepeda ontel terasa begitu menyenangkan. Seketika takutku hilang. Sensasinya mungkin seperti menaiki roolerkoster. Meski aku belum pernah menaikinya. Seru sekali, jalan yang berbatuan membuat pantatku trasa panas. Badan seperti melompat melompat. Bapak mengayuh sepeda itu dengan begitu kencangnya. Karena waktu itu aku hampir terlabat. Pukul 07:00 WIB siswa sudah masuk kelas kata bapak.
Saat bapak mengayuh sepeda di depanku terlihat beliau sangat gagah perkasa, badanya besar tapi tidak gemuk, baju ham lusuh war putih kebiru biruanya yang tipis seperti menonjolkan otot otot pundak dan punggungnya. Mungkin seperti inilah sosok Werkudoro yang di ceritakan bapak sebagai tokoh wayang yang gagah.
Namun hal lain yang kulihat dari bapaku dia sangatlah ramah, tak seramah saat di kota Tangerang, saat disini semua orang disapanya, semua orang juga menyapa dirinya dengan senyum dan berkata dalam bahasa jawa "Lek Si, ndek kapan mulihe?" bapaku menjawab "ndek wingi lek". Waahh ramah sekali. Dan aku hanya terdiam plonga plongo melihat kejadian itu.
Selain jalan yang berbatu, ternyata jauh juga jarak rumah dan sekolah baruku. Menyebrangi sungai, melawati perkampungan dan kebun pohon jati. Aku sungguh menikmati rasanya dibonceng sepeda ontel oleh bapak untuk pertama kalinya dan ternyata sampai saat ini aku belum pernah merasakan untu yang kedua. Meski hal itu tidak mungkin terulang kembali. Karena badanku sekarang jauh lebih besar daripada bapak dan bapak sekarang mungkin sudah tidak kuat bonceng aku. Mungkin suatu nanti biar aku memboceng bapak, gantian.
Tiba tiba terdengar Srrrrookkk... bapak menginjak ban depan. Sepeda berhenti. Terdengar suara anak anak yang ramai. Ku tengok kerarah suara itu sebelah kiri jalan. Ternyata itu sekolahan baruku, jantungku seketika berdebar lagi. Kupegang erat sedel yang diduduki bapak. Erat sangat erat sekali. Sambil melihat beberapa anak anak saling berkejaran,  bermain bola plastik. Terlihat dari luar sekolahku adalah satu satunya bangunan yang dipagari oleh bagar semen yang tidak terlalu tinggi setinggi pundaku. Halamnya dari tanah dan jarang jarang rumputnya. Ada taman taman bunga yang ada di depan ruang ruang kelas. Di depan ada gapura yang bertulisan timbul dan ada gambar anak laki laki dan perempuan mengenakan seragam dan timbul juga seperti menempel disisi gapura disebelahnya. Di samping gapura ada bebebrapa plang yang tulisanya agak memudar, di sebelah kanan ada musola kecil dan ada banyak kran untuk tempat wudhu. Di tengah lapangan ada tiang bendera. Anak anak bermsin dibawah tiang tersebut. Ramai sekali sekolah baruku ini. Sepertinya semua menggunakan bahasa jawa. Aku takut dianggap asing. Mungkin aku juga menganggap tempat kelahiranku itu sangat asing.
SDN Semen 4 sekolahku dulu
Bapak telah melepaskan ikatan dikakiku, sepeda sidandarkan ke tiang listrik dan aku diangkatnya. Tapi aku masih berpegang erat pada sadel itu. "hheee... colne le.. lepaskan ayo turun." "ora pak, wedi" sahutku "aku pulang wae" "tapi harus sekolah ben pinter le, ben dadi dokter" Jawabnya sambil tersenyum. Mataku berkaca kaca dan menggeleng gelengkan kepala.
Tapi ternyata bapak begitu kuat tiba-tiba aku di gendongnya. Dia melihatku aku melihatnya. Kita saling tatap tatapan dan tiba-tiba aku diturunkan. Bapak menggandeng tanganku dan berjalan menuju gerbang itu." Aku pengen pulang" kata dalam hatiku. Memasuki gerbang menyusuri lapangan semua anak menatapku mereka saling berbisik, dan semakin drop rasanya. kringat dingin keluar di dahiku. Bapak membawaku kearah ibu berbaju coklat berjilbab hijau dan bersepatu pantopel, dari kejauhan seperti menunggu kedatangan bapak dan menyilakan bapak dan aku masuk kesuatu ruang, ruanganya tidak telalu lebar seperti dugaanku ada lemari kaca dan aku melihat sebuah komputer diruangan itu. Ada sofa empuk berwarna hijau, piala piala, buku-buku, meja kaca dan ada seorang tinggi kurus dengan tatapan menyeramkan di balik lemari. Bapak dan ibu itu duduk saling berbincang. Pasang pasang mata mengitip di jendela tak berkaca dan melihat melihat di depan pintu. Dan ibu berkrudung hijau itu bilang "hayo masuk, masuk kelas udah waktunya masuk." Setelah tak lama. Ibu itu menayakan namaku dan mengajaku. Aku melihat bapak dan memberi tanda aku tidak mau. "wes gak popo, sekolah seng pinter, mbesk ben dadi dokter le" kata bapak. kita keluar ruang aku di gandeng ibu bekrudung hijau itu berjalan kesuatu arah, aku tak tahu karena aku hanya menatap kebelakang kearah bapak yang berdiri di depan pintu ruangan tadi dan mengucapkan hal yang sama "sekolah seng pinter le ben dadi dokter."
Betahun-tahun telah berlalu tiba tida saat ini aku sudah kuliah. 12 tahun belajar dikampung halaman kini ku ikut bapak merantau belajar tentang kehidupan. Berkerja dengan berjualan dan merasakan rasanya banting tulang bersama. Pesan ku saat berangkat kuliah masih sama namun bapak dan ibu sekarang lebih demokratis kepadaku, "sekolah seng pinter le" menghilangkan kata jadi dokternya. Karena aku tidak mau menjadi dokter. Tapi akhir akhir ini aku mnyesal tak menuruti nasehat orang tuaku itu. Saat bapak sakit sekarang aku tidak bisa berbuat untuk merawat dan lebih berguna seperti dokter.
Maaf pak maaf buk. Kutahu bapak dan ibu tidak bisa membaca sendiri tulisaku ini. kuberharap suatu saat nanti ada yang membacakanya untuk kalian dengan bahasa yang lebih sederhana. Sekarang aan belum bisa menjadi anak yang berguna seperti engkau harapkan dari dulu. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu hadir untuk ibuk bapak.

0 komentar:

Posting Komentar