Bapaku |
Bapak,
panggilanku kepada seseorang yang nampak lelah, lesu dan terkadang ceria dengan joke-joke garingnya. Saat itu tak
kusangka dan tak kusadari makin hari tubuh bapak makin kurus. Mungkin karena
jadwal kerja kita dari pukul 8 sampai 3 dini hari. Dimasa kecilku yang selalu
ditinggal merantau orang tua yang terbayang adalah bapak itu sangat gagah
perkasa. Badanya berotot, pundanya lebar legam dan lenganya besar sekali.
ingatan yang tergambar saat masa kecil dulu di kampung halaman ditinggal
merantau olehnya. Saat ini, aku bersamanya. ternyata ingatanku salah. Bapak
bertambah menua dan bertambah rentan. Ototnya yang dulu telah hilang. Perut
kotak kotaknya dulu juga hilang dadanya yang bidang juga hilang. Yang nampak
wajah yang sedikit pucat dan rambut beruban.
Kepiluanku
bertambah ketika 1 tahun yang lalu bertepatan setelah pernikahan kakaku yang
ketiga, bapak divonis leukimia. Shock mendera seluruh keluarga, kecuali ibu dan
bapak. Seluruh kakak-kakaku, yang pertama, kedua dan yang ketiga menangis semua
mendengar kabar itu dari dokter ahli penyakit dalam rumas sakit darmais. Cuma
aku yang melamun berdiam melihati tangisan mereka. Bukan karena aku tak sedih.
Tapi takut menulari kesedihan dan ketakutan kepada ibu dan bapak yang menunggu
diluar ruangan. Kita sepakat untuk tidak memberikan tahu hal ini kepada bapak
dan ibu. Kakak pertama menyuruhku mengantar ibu dan bapak ke mobil. Ibuku dan
bapaku bukanlah orang yang terpelajar. Ibuku tidak pernah sekolah dan bapaku
Cuma pernah sekolah rakyat tapi tidak lulus. Sehingga mereka sangat
mengharapkan aku menjadi anak yang pintar dan berguna seperti dokter. Dan tidak
senasip seperti mereka.
Dimasa
kecilku bapak adalah sosok yang humoris dan penyayang, bapak tidak pernah
memarahiku, bapak selalu tersenyum dan sangat kuat. Hal yang tak terlupakan
saat pertama kali aku masuk SD. Aku takut dan bingung. Karena aku hadir dalam lingkungan baru. Saat usiaku 1
sampai 5 tahun aku tinggal di kota Tangerang. Karena biaya sekolah disana pada
waktu itu sangat mahal ibu dan bapak tak punya pilihan selain menyekolahkan ku
dikampung dan hidup besama nenek.
Diharipertamaku
di kampung, aku tak punya teman. Bapak dan ibulah satu satunya temanku orang
benar ku kenal bahkan kepada nenek, kakak ketiga dan kedua aku merasa asing.
Disuatu
pagi ibu memandikanku, mendadaniku, menyisir rambut dan memakikanku tas ransel
bergambar Power Rangers. Aku menduga pasti aku akan sekolah. Aku mengatakan
pada ibu aku tak mau sekolah karena takut.meski saat itu kakak ketigaku duduk
dikelas 6, tapi aku tetap tak mau, sehingga kakaku berangkat duluan. Akhirnya
bapak meyakinkanku. Sampai-sampai bapak harus meminjam sepeda ontel tua milik kakek.
Biar aku tidak takut katanya bapak mau nganter aku sekolah.
Kakeku,
mbah Diyo namanya, sepedanya sangat tua seperti kakek juga sangat tua, selalu membawa tongkat jika berjalan,
yang aku ingat sepedanya sudah karatan semua warnanya coklat, sangat tinggi, rodanya
besar dan pipih. Aku diangkat ibu lalu didudukan di boncengan belakang yang
tidak ada busanya hanya besi saja. Kakiku diikat agar tidak masuk dalam jeruji
roda. Sebelum berangkat ibu menciumku dan memasuka beberapa ratus rupiah
kedalam sakuku, "sekolah seng pinter le sok ben dadi dokter" kata ibu.
Aku berangkat dan hatiku sangat berdebar. Kampung halaman tempat aku dilahirkan
tanpa mengenal satu kawan pun disini. Bahkan bahasa jawaku saat itu sangatlah
buruk. Masih campur bahasa Indonesia. Semakin dalam takutku.
Bapak
menaiki sepeda, dengan mendorong sepeda dan langsung loncat kesedelnya. Waaahhh...
senangnya hatiku. Tak menyaka dibonceng sepeda ontel terasa begitu
menyenangkan. Seketika takutku hilang. Sensasinya mungkin seperti menaiki
roolerkoster. Meski aku belum pernah menaikinya. Seru sekali, jalan yang
berbatuan membuat pantatku trasa panas. Badan seperti melompat melompat. Bapak
mengayuh sepeda itu dengan begitu kencangnya. Karena waktu itu aku hampir
terlabat. Pukul 07:00 WIB siswa sudah masuk kelas kata bapak.
Saat
bapak mengayuh sepeda di depanku terlihat beliau sangat gagah perkasa, badanya
besar tapi tidak gemuk, baju ham lusuh war putih kebiru biruanya yang tipis
seperti menonjolkan otot otot pundak dan punggungnya. Mungkin seperti inilah
sosok Werkudoro yang di ceritakan bapak sebagai tokoh wayang yang gagah.
Namun
hal lain yang kulihat dari bapaku dia sangatlah ramah, tak seramah saat di kota
Tangerang, saat disini semua orang disapanya, semua orang juga menyapa dirinya
dengan senyum dan berkata dalam bahasa jawa "Lek Si, ndek kapan mulihe?"
bapaku menjawab "ndek wingi lek". Waahh ramah sekali. Dan aku hanya
terdiam plonga plongo melihat kejadian itu.
Selain
jalan yang berbatu, ternyata jauh juga jarak rumah dan sekolah baruku.
Menyebrangi sungai, melawati perkampungan dan kebun pohon jati. Aku sungguh
menikmati rasanya dibonceng sepeda ontel oleh bapak untuk pertama kalinya dan
ternyata sampai saat ini aku belum pernah merasakan untu yang kedua. Meski hal
itu tidak mungkin terulang kembali. Karena badanku sekarang jauh lebih besar daripada
bapak dan bapak sekarang mungkin sudah tidak kuat bonceng aku. Mungkin suatu
nanti biar aku memboceng bapak, gantian.
Tiba
tiba terdengar Srrrrookkk... bapak menginjak ban depan. Sepeda berhenti.
Terdengar suara anak anak yang ramai. Ku tengok kerarah suara itu sebelah kiri
jalan. Ternyata itu sekolahan baruku, jantungku seketika berdebar lagi. Kupegang
erat sedel yang diduduki bapak. Erat sangat erat sekali. Sambil melihat
beberapa anak anak saling berkejaran,
bermain bola plastik. Terlihat dari luar sekolahku adalah satu satunya bangunan
yang dipagari oleh bagar semen yang tidak terlalu tinggi setinggi pundaku.
Halamnya dari tanah dan jarang jarang rumputnya. Ada taman taman bunga yang ada
di depan ruang ruang kelas. Di depan ada gapura yang bertulisan timbul dan ada
gambar anak laki laki dan perempuan mengenakan seragam dan timbul juga seperti
menempel disisi gapura disebelahnya. Di samping gapura ada bebebrapa plang yang
tulisanya agak memudar, di sebelah kanan ada musola kecil dan ada banyak kran untuk
tempat wudhu. Di tengah lapangan ada tiang bendera. Anak anak bermsin dibawah
tiang tersebut. Ramai sekali sekolah baruku ini. Sepertinya semua menggunakan
bahasa jawa. Aku takut dianggap asing. Mungkin aku juga menganggap tempat
kelahiranku itu sangat asing.
SDN Semen 4 sekolahku dulu |
Bapak
telah melepaskan ikatan dikakiku, sepeda sidandarkan ke tiang listrik dan aku
diangkatnya. Tapi aku masih berpegang erat pada sadel itu. "hheee... colne
le.. lepaskan ayo turun." "ora pak, wedi" sahutku "aku
pulang wae" "tapi harus sekolah ben pinter le, ben dadi dokter"
Jawabnya sambil tersenyum. Mataku berkaca kaca dan menggeleng gelengkan kepala.
Tapi
ternyata bapak begitu kuat tiba-tiba aku di gendongnya. Dia melihatku aku
melihatnya. Kita saling tatap tatapan dan tiba-tiba aku diturunkan. Bapak
menggandeng tanganku dan berjalan menuju gerbang itu." Aku pengen
pulang" kata dalam hatiku. Memasuki gerbang menyusuri lapangan semua anak
menatapku mereka saling berbisik, dan semakin drop rasanya. kringat dingin
keluar di dahiku. Bapak membawaku kearah ibu berbaju coklat berjilbab hijau dan
bersepatu pantopel, dari kejauhan seperti menunggu kedatangan bapak dan
menyilakan bapak dan aku masuk kesuatu ruang, ruanganya tidak telalu lebar
seperti dugaanku ada lemari kaca dan aku melihat sebuah komputer diruangan itu.
Ada sofa empuk berwarna hijau, piala piala, buku-buku, meja kaca dan ada
seorang tinggi kurus dengan tatapan menyeramkan di balik lemari. Bapak dan ibu
itu duduk saling berbincang. Pasang pasang mata mengitip di jendela tak berkaca
dan melihat melihat di depan pintu. Dan ibu berkrudung hijau itu bilang
"hayo masuk, masuk kelas udah waktunya masuk." Setelah tak lama. Ibu
itu menayakan namaku dan mengajaku. Aku melihat bapak dan memberi tanda aku
tidak mau. "wes gak popo, sekolah seng pinter, mbesk ben dadi dokter
le" kata bapak. kita keluar ruang aku di gandeng ibu bekrudung hijau itu
berjalan kesuatu arah, aku tak tahu karena aku hanya menatap kebelakang kearah
bapak yang berdiri di depan pintu ruangan tadi dan mengucapkan hal yang sama
"sekolah seng pinter le ben dadi dokter."
Betahun-tahun
telah berlalu tiba tida saat ini aku sudah kuliah. 12 tahun belajar dikampung
halaman kini ku ikut bapak merantau belajar tentang kehidupan. Berkerja dengan
berjualan dan merasakan rasanya banting tulang bersama. Pesan ku saat berangkat
kuliah masih sama namun bapak dan ibu sekarang lebih demokratis kepadaku,
"sekolah seng pinter le" menghilangkan kata jadi dokternya. Karena
aku tidak mau menjadi dokter. Tapi akhir akhir ini aku mnyesal tak menuruti
nasehat orang tuaku itu. Saat bapak sakit sekarang aku tidak bisa berbuat untuk
merawat dan lebih berguna seperti dokter.
Maaf
pak maaf buk. Kutahu bapak dan ibu tidak bisa membaca sendiri tulisaku ini.
kuberharap suatu saat nanti ada yang membacakanya untuk kalian dengan bahasa
yang lebih sederhana. Sekarang aan belum bisa menjadi anak yang berguna seperti
engkau harapkan dari dulu. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu hadir untuk
ibuk bapak.
0 komentar:
Posting Komentar