Telah berlalu
tahun politik yang sangat bergejolak dalam Pilpres 2014 kemarin. Meninggalkan
kesan pertarungan politik tingkat nasional yang merebutkan kursi RI-1. Dua parpol
yang menjadi pemenang dalam pemilu Legislatif pun mencalonkan kedua kandidat
calon presiden, yang sudah kita ketahui Bapak Jokowilah yang menjadi Presiden
Indonesia periode 2014 – 2019.
Tahun politik tak
berhenti di tahun 2014. tahun politik berlanjut yang terjadi di daerah yaitu Pemilihan
Kepala Daerah (pilkada) serentak 2015 tingkat kabupaten/kota, yang justru tidak
kita rasakan gejolaknya seperti tahun sebelumnya. Bisa jadi Karena kampanye
sebagian dikelola oleh KPU, sehingga tidak ada penguasaan media massa dan penganggaran
untuk poster dan baliho. Namun tak seperti yang terjadi di Medan tingkat
partisipasi masyarakat hanya diperkirakan mencapai 20%. dikarenakan anggapan
masyarakat siapapun kepala daerahnya pasti korupsi.
Pilkada serentak 2015
adalah ajang ujuk kekuatan para calon petahana yaitu bupati/walikota yang
mencalonkan kembali menjadi kepala daerah di pilkada tersebut. Berdasarkan
lembaga survei Indonesia yang menyatakan 70% calon petahana menang di pilkada
serentak. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ada yang beranggapan petahana
mempuanyai masa kampanye yang lama yaitu selama 5 tahun dia menjabat. Hal
tersebut tidak selamanya benar kita dapat menilai bahwasanya petahana yang
dianggap tidak bersihpun bisa menang dalam pilkada serentak 2015. Ambil contohlah
pilkada Tangerang Selatan meskinpun suami dari wali kota tersebut sudah
dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi, tidak mengalangi langkahnya untuk
menang dalam pilkada kemarin. Meski saya yakini rakyat tak sebodoh itu. Selama
5 tahun rakyat yang merasakan jalan rusak, layanan kesehatan yang buruk dan
pendidikan yang penuh dengan pungli, masih mau memilih calon petahana yang
membuatnya susah. Lantas apa yang membuat calon petahana mampu memenangi
pilkada serentak 2015?
Calon petahana mempunya
2 kekuatan besar, kunci sukses menang pilkada. Yang pertama adalah APBD (
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam perumusan APBD kepala daerah
memiliki wewenang yang cukup besar. Modus yang sering terjadi ialah
penganggaran dana bansos (bantuan sosial). Bansos adalah pemberian bantuan
berupa uang/barang kepada individu, keluarga dan/atau kelompok masyarakat yang
sifatnya secara tidak terus menerus besifat selektif yang bertujuan melindungi
dari kemungkinan resiko sosial. Bansos dari APBD diperbolehkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang
di ubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 21 tahun 2011 dan kedua
peraturan tersebut tidak mensyaratkan calon penerima bansos karena sudah
tercantum dalam APBD yang telah dibahas
dan ditetapkan tahun sebelumnya[1].
Melambungnya dana
bansos terbukti terjadi disetiap daerah yang petahananya maju kembali dalam pilkada
serentak 2015. Sepeti yang dilansir dalam media-media masa di internet. Kemendagri
akui peningkatan dana bansos menjelang pilkada. termasuk kasus Bansos yang meningkat 254% di Tangerang
Selatan dalam APBD-Perubahan 2015 yang dilansir detik.com. Dari dana bansos
APBD 2015 sebesar Rp 29 M menjadi Rp 105 M di APBD-Perubahan 2015 dibulan
November. Nilai yang sangat fantastis dan kemudian kita juga tidak heran
pembangunan jalan begitu gencar-gencarnya dimasa itu. Contoh jalan Siliwangi di
depan kampus UNPAM, bulan November dan Desember pengerjaan dilaksanakan dengan
terburu-buru sampai siang malam dikerjakan namun setelah pilkada Januari,
Februari, Maret dan sekarang April pengerjaan jalan tersebut tak kunjung usai.
Menyisakan tiang listrik ditengah jalan.
Berdasarkan temuan KPK
yang dilansir rappler.com, penyelewengan dana bansos rawan diselewengkan oleh
kepala daerah incumbent alias petahana. KPK juga mengeluarkan surat himbauan
bernomor B-14/01-15/01/2015 tertanggal 6 Januari 2014 yang dikirim kepada
seluruh gubernur dan ditembuskan kepada Mentri Dalam Negri yang meminta kepada
jajaran kepala daerah secara sungguh-sungguh mengelola dana bansos.
Dana bansos harus
berazas keadilan diperuntukan untuk bantuan yang semestinya, namun
penyelewengan dana bansos bisa juga menjadi dana kampanye dengan modus penerima
dana bansos adalah kelompok masyarakat yang mendukung atau bahkan menjadi tim
sukses petahana dan tidak menutup kemungkinan penerima dana fiktif untuk
pembangunan infrastruktur.
Sungguh sangat
menyedihkan apabila dana bansos yang dari uang rakyat dan seharusnya
diperuntukan untuk yatim piatu, orang yang tidak mampu dan kelompok masyarakat
lain yang membutuhkan malah dipergunakan
untuk kepentingan pribadi yang serakah akan kekuasaan, Sangat miris.
Kemudian kunci sukses petahana yang kedua
adalah politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Seorang kepala daerah mempunyai
hak priyogratif untuk mengganti, memindahkan atau menurukan jabatan kepala
dinasnya atau aparatur sipil negara. Kemudian dikewenangan inilah petahana
bermain. Setiap kepala dinas yang tidak mendukung dirinya bisa diganti,
dipindahkan atau diturukan jabatanya. Tidak peduli apakah ASN tersebut
berkualitas atau tidak selama tidak mendukung pertahana maka disingkirkan.
ASN yang sering menjadi
korban politisasi petahana adalah guru. Karena jumlah yang banyak didalam suatu
daerah. Selain itu berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW)
yang dilansir dalam bisnis.com, tentang pengelolaan guru yang memperlihatkan
berbagai masalah terkait rekrutmen dan pendidikan calon guru, status dan
kesejahteraan, kepangkatan dan pengembangan karir, serta ketimpangan persebaran
guru di daerah.
Hal itu disebabkan
antara lain belum ada kejelasan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan
daerah. Sebenarnya ada dua regulasi yang mengatur tentang pengelolaan guru
yaitu UU No. 15 Tahun 2015 tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah No.
74 tahun 2008 tentang guru akan tetapi belum mengatur dengan jelas porsi
pembagian tugas secara teknis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dari ketidakjelasan
tersebut memberikan peluang kepada calon petahana mempolitisasi guru. Dan
dengan terpolitisasinya guru berarti mengesampingkan kepentingan kesejahteraan
dan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Bayangkan apabila ada guru yang
bernar-benar berkapasitas dan berintegritas menolak untuk mendukung calon petahana
yang korup maka dia dipindahkan ketempat yang jauh atau diturunkan jabatan?
Siapa yang dirugikan? Pasti murid akan kehilangan guru yang berkualitas dan
berintegritas tersebut dan kesejahteraan guru tersebut juga.
Dari kedua masalah
tersebut sudah jelas dimana letak permasalahanya. Terkait dengan dana bansos
pemerintah perlu membatasi dan memberikan kejelasan dan persyaratan lebih siapa
saja yang berhak dan mekanisme yang jelas dan ketat dari segi pengawasan
pertanggung jawaban dan ketransparantnya maka dari itu perlu memperkuat
peraturan terkait Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah dan Permendagri No. 21 tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. Dan selanjutnya terkait tentang guru yang terpolitisasi
pemerintah hendaknya memberikan kejelasan tentang pembagian teknis pengelolaan
guru. Apakah secara sentralisasi atau desentralisasi dan apabila ada wacana
penyerahan penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah dan khusus kepada
pemerintah provinsi juga dianggap tidak menjawab pesoalan apabila pemerintah
tidak memberikan kejelasan tentang pembagian tugas.
Dan itulah dua kunci
busuk kesuksesan calon petahana yang bermental pecundang dan corrupt. Menghalakan
segala cara meskipun itu busuk agar mampu berkuasa kembali dan berkorupsi
kembali. Rakyat kecil akan selalu menderita selama petahan itu berkuasa. Satu
hal yang aku yakini pejabat yang mendapatkan jabatanya dengan cara yang corrupt
akan mejalankan jabatanya dengan cara yang corrupt juga. Ingat 70% pilkada
dimenangkan calon petahana.
Namun masih ada harapan,
semua ditangan kita. Kesejahteraan masih bisa kita tentukan kepastianya. Tahun
politik belum berakhir, Pilih pemimpin yang benar-benar bersih dan berpihak
kepada rakyat kecil. Kita belajar di pilkada serentak 2015 dan kita sukseskan
pilkada 2017 gelombang 1, pilkada 2018 gelombang 2 ditingkat provinsi dan
pemilu tahun 2019. Karena kesejahteraan adalah oleh kita, dari kita, dan untuk
kita rakyat Indonesia. Merdeka!!
[1] Memang
dalam pebahasan dan penetapan APBD itu harus melalui sidang DPRD tapi kita
harus berkaca pada kasus korupsi dana bansos Sumatra Utara, dana bansos senilai
Rp 308,4 M yang membuat Gubernur non aktif Gatot Pujo Nugroho terlilit 3 kasus.
Penyuapan hakim PTUN Medan dan DPRD Sumatra Utara serta penyalahgunaan dana
bansos. Ketua DPRD Sumatra Utara periode 2009 – 2014 Ajib Shah menyebut hal itu dengan “uang
ketok”. Dalam proses penggaran dalam DPRD itu akan besih suap-menyuap bisa
berlangsung dalam pengesahan APBD. dan sekarang sudah sahlah pak gubernur dan
istri menyandang gelar koruptor alias maling uang rakyat.
Keren..
BalasHapusiyyaa dong gue..
HapusTerbaik lah kau mas, semua isu dari zaman judul juga kau bahas :D
BalasHapusYUP GUNG
Hapusheheheheeh
BalasHapusIya kak mer
Hapus