Berbagi Ilmu dan Cerita

Sabtu, 25 Februari 2017

Kunci Sukses nan Busuk Calon Pertahana Pilkada Serentak 2015

08.14 Posted by Faith, Hope and Love 6 comments
Telah berlalu tahun politik yang sangat bergejolak dalam Pilpres 2014 kemarin. Meninggalkan kesan pertarungan politik tingkat nasional yang merebutkan kursi RI-1. Dua parpol yang menjadi pemenang dalam pemilu Legislatif pun mencalonkan kedua kandidat calon presiden, yang sudah kita ketahui Bapak Jokowilah yang menjadi Presiden Indonesia periode 2014 – 2019.

Tahun politik tak berhenti di tahun 2014. tahun politik berlanjut yang terjadi di daerah yaitu Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak 2015 tingkat kabupaten/kota, yang justru tidak kita rasakan gejolaknya seperti tahun sebelumnya. Bisa jadi Karena kampanye sebagian dikelola oleh KPU, sehingga tidak ada penguasaan media massa dan penganggaran untuk poster dan baliho. Namun tak seperti yang terjadi di Medan tingkat partisipasi masyarakat hanya diperkirakan mencapai 20%. dikarenakan anggapan masyarakat siapapun kepala daerahnya pasti korupsi.
Pilkada serentak 2015 adalah ajang ujuk kekuatan para calon petahana yaitu bupati/walikota yang mencalonkan kembali menjadi kepala daerah di pilkada tersebut. Berdasarkan lembaga survei Indonesia yang menyatakan 70% calon petahana menang di pilkada serentak. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ada yang beranggapan petahana mempuanyai masa kampanye yang lama yaitu selama 5 tahun dia menjabat. Hal tersebut tidak selamanya benar kita dapat menilai bahwasanya petahana yang dianggap tidak bersihpun bisa menang dalam pilkada serentak 2015. Ambil contohlah pilkada Tangerang Selatan meskinpun suami dari wali kota tersebut sudah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi, tidak mengalangi langkahnya untuk menang dalam pilkada kemarin. Meski saya yakini rakyat tak sebodoh itu. Selama 5 tahun rakyat yang merasakan jalan rusak, layanan kesehatan yang buruk dan pendidikan yang penuh dengan pungli, masih mau memilih calon petahana yang membuatnya susah. Lantas apa yang membuat calon petahana mampu memenangi pilkada serentak 2015?
Calon petahana mempunya 2 kekuatan besar, kunci sukses menang pilkada. Yang pertama adalah APBD ( Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam perumusan APBD kepala daerah memiliki wewenang yang cukup besar. Modus yang sering terjadi ialah penganggaran dana bansos (bantuan sosial). Bansos adalah pemberian bantuan berupa uang/barang kepada individu, keluarga dan/atau kelompok masyarakat yang sifatnya secara tidak terus menerus besifat selektif yang bertujuan melindungi dari kemungkinan resiko sosial. Bansos dari APBD diperbolehkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang di ubah beberapa kali, terakhir Permendagri No. 21 tahun 2011 dan kedua peraturan tersebut tidak mensyaratkan calon penerima bansos karena sudah tercantum dalam APBD  yang telah dibahas dan ditetapkan tahun sebelumnya[1].

Melambungnya dana bansos terbukti terjadi disetiap daerah yang  petahananya maju kembali dalam pilkada serentak 2015. Sepeti yang dilansir dalam media-media masa di internet. Kemendagri akui peningkatan dana bansos menjelang pilkada. termasuk  kasus Bansos yang meningkat 254% di Tangerang Selatan dalam APBD-Perubahan 2015 yang dilansir detik.com. Dari dana bansos APBD 2015 sebesar Rp 29 M menjadi Rp 105 M di APBD-Perubahan 2015 dibulan November. Nilai yang sangat fantastis dan kemudian kita juga tidak heran pembangunan jalan begitu gencar-gencarnya dimasa itu. Contoh jalan Siliwangi di depan kampus UNPAM, bulan November dan Desember pengerjaan dilaksanakan dengan terburu-buru sampai siang malam dikerjakan namun setelah pilkada Januari, Februari, Maret dan sekarang April pengerjaan jalan tersebut tak kunjung usai. Menyisakan tiang listrik ditengah jalan.
Berdasarkan temuan KPK yang dilansir rappler.com, penyelewengan dana bansos rawan diselewengkan oleh kepala daerah incumbent alias petahana. KPK juga mengeluarkan surat himbauan bernomor B-14/01-15/01/2015 tertanggal 6 Januari 2014 yang dikirim kepada seluruh gubernur dan ditembuskan kepada Mentri Dalam Negri yang meminta kepada jajaran kepala daerah secara sungguh-sungguh mengelola dana bansos.
Dana bansos harus berazas keadilan diperuntukan untuk bantuan yang semestinya, namun penyelewengan dana bansos bisa juga menjadi dana kampanye dengan modus penerima dana bansos adalah kelompok masyarakat yang mendukung atau bahkan menjadi tim sukses petahana dan tidak menutup kemungkinan penerima dana fiktif untuk pembangunan infrastruktur.
Sungguh sangat menyedihkan apabila dana bansos yang dari uang rakyat dan seharusnya diperuntukan untuk yatim piatu, orang yang tidak mampu dan kelompok masyarakat lain yang membutuhkan  malah dipergunakan untuk kepentingan pribadi yang serakah akan kekuasaan, Sangat miris.
 Kemudian kunci sukses petahana yang kedua adalah politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Seorang kepala daerah mempunyai hak priyogratif untuk mengganti, memindahkan atau menurukan jabatan kepala dinasnya atau aparatur sipil negara. Kemudian dikewenangan inilah petahana bermain. Setiap kepala dinas yang tidak mendukung dirinya bisa diganti, dipindahkan atau diturukan jabatanya. Tidak peduli apakah ASN tersebut berkualitas atau tidak selama tidak mendukung pertahana maka disingkirkan.
ASN yang sering menjadi korban politisasi petahana adalah guru. Karena jumlah yang banyak didalam suatu daerah. Selain itu berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilansir dalam bisnis.com, tentang pengelolaan guru yang memperlihatkan berbagai masalah terkait rekrutmen dan pendidikan calon guru, status dan kesejahteraan, kepangkatan dan pengembangan karir, serta ketimpangan persebaran guru di daerah.
Hal itu disebabkan antara lain belum ada kejelasan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah. Sebenarnya ada dua regulasi yang mengatur tentang pengelolaan guru yaitu UU No. 15 Tahun 2015 tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang guru akan tetapi belum mengatur dengan jelas porsi pembagian tugas secara teknis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dari ketidakjelasan tersebut memberikan peluang kepada calon petahana mempolitisasi guru. Dan dengan terpolitisasinya guru berarti mengesampingkan kepentingan kesejahteraan dan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Bayangkan apabila ada guru yang bernar-benar berkapasitas dan berintegritas menolak untuk mendukung calon petahana yang korup maka dia dipindahkan ketempat yang jauh atau diturunkan jabatan? Siapa yang dirugikan? Pasti murid akan kehilangan guru yang berkualitas dan berintegritas tersebut dan kesejahteraan guru tersebut juga.
Dari kedua masalah tersebut sudah jelas dimana letak permasalahanya. Terkait dengan dana bansos pemerintah perlu membatasi dan memberikan kejelasan dan persyaratan lebih siapa saja yang berhak dan mekanisme yang jelas dan ketat dari segi pengawasan pertanggung jawaban dan ketransparantnya maka dari itu perlu memperkuat peraturan terkait Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 21 tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dan selanjutnya terkait tentang guru yang terpolitisasi pemerintah hendaknya memberikan kejelasan tentang pembagian teknis pengelolaan guru. Apakah secara sentralisasi atau desentralisasi dan apabila ada wacana penyerahan penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah dan khusus kepada pemerintah provinsi juga dianggap tidak menjawab pesoalan apabila pemerintah tidak memberikan kejelasan tentang pembagian tugas.
Dan itulah dua kunci busuk kesuksesan calon petahana yang bermental pecundang dan corrupt. Menghalakan segala cara meskipun itu busuk agar mampu berkuasa kembali dan berkorupsi kembali. Rakyat kecil akan selalu menderita selama petahan itu berkuasa. Satu hal yang aku yakini pejabat yang mendapatkan jabatanya dengan cara yang corrupt akan mejalankan jabatanya dengan cara yang corrupt juga. Ingat 70% pilkada dimenangkan calon petahana.
Namun masih ada harapan, semua ditangan kita. Kesejahteraan masih bisa kita tentukan kepastianya. Tahun politik belum berakhir, Pilih pemimpin yang benar-benar bersih dan berpihak kepada rakyat kecil. Kita belajar di pilkada serentak 2015 dan kita sukseskan pilkada 2017 gelombang 1, pilkada 2018 gelombang 2 ditingkat provinsi dan pemilu tahun 2019. Karena kesejahteraan adalah oleh kita, dari kita, dan untuk kita rakyat Indonesia. Merdeka!!



[1] Memang dalam pebahasan dan penetapan APBD itu harus melalui sidang DPRD tapi kita harus berkaca pada kasus korupsi dana bansos Sumatra Utara, dana bansos senilai Rp 308,4 M yang membuat Gubernur non aktif Gatot Pujo Nugroho terlilit 3 kasus. Penyuapan hakim PTUN Medan dan DPRD Sumatra Utara serta penyalahgunaan dana bansos. Ketua DPRD Sumatra Utara periode 2009 – 2014  Ajib Shah menyebut hal itu dengan “uang ketok”. Dalam proses penggaran dalam DPRD itu akan besih suap-menyuap bisa berlangsung dalam pengesahan APBD. dan sekarang sudah sahlah pak gubernur dan istri menyandang gelar koruptor alias maling uang rakyat.

6 komentar: