Kematian
Marsinah akibat memperjuangkan hak pekerja perempuan pada tahun 1993 silam
mestinya mampu menjadi pengingat agar tak ada lagi terjadi diskriminasi ataupun
kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan. Pekerja perempuan kerap mengalami
pelecehan baik yang bekerja di dalam maupun diluar negri. Ironisnya, tindakan
pelecehan itu tak jarang dilakukan oleh atasan/majikan si korban. Begitupun apa
yang telah terjadi pada Tuti Tursilawati saat ini.
Tuty
Tursilawati menjadi satu dari sekian yang harus menghembuskan napas terakhir di
negeri orang karena hukuman mati. TKW asal Majalengka ini di eksekusi mati oleh
pemerintah Arab tanpa pemberitahuan apapun pada Pemerintah Indonesia. Tuti Tursilawati,
dieksekusi tanggal 29 Oktober 2018, setelah tahun 2010 didakwa membunuh
majikannya.
Dilansir
dari Tribunnews.com, Tuty berangkat ke Arab pada september 2009, Tuty bekerja
sebagai asisten rumah tangga di kota Thaif, Mekah Barat. Selama bekerja, Tuty
sering mendapatkan pelecehan seksual oleh majikannya. Hal ini turut diungkapkan
Nisma abdullah Aktivis Aliansi Tolak Hukuman Mati 11 November 2011 lalu.
Tak tahan dengan perlakuan
majikanya, Tuty melakukan perlawanan saat hendak diperkosa pada 11 Mei 2010. Ia
menggunakan tongkat untuk melakukan pembelaan dan memukulkan kemajikannya.
Majikan Tuty pun meninggal dunia. TKW ini memutuskan untuk melarikan diri.
Namun naas, saat melakukan pelarian ia justru diperkosa oleh 9 pria. Setelah diperkosa
Tuty kemudian ditangkap kepolisian kota Thaif karena dugaan pembuhunan
majikanya. Pengadilan Arab kemudian memutuskan Tuty bersalah dan divonis mati
pada juni 2011.
Kasus
Tuty ini merupakan kasus pelecehan dan kasus kekerasan berbasis gender, Kasus
Tuty dalam proses hukum di Arab Saudi masuk dalam kategori sebagai pelanggaran
had yang merupakan hukum Tuhan dengan dakwaan pembunuhan berencana, dan tidak
bisa dinegosisasi menjadi kasus QISAS yang dapat dimaafkan ataupun dibayar
dengan denda hukuman. Kasus yang dialami Tuty merupakan kasus yang sangat
krusial dan memprihatinkan, karena selain tidak menghormati prinsip-prinsip HAM
juga merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan, menganggap perempuan hanya
menjadi seorang yang superior setelah laki-laki.
Agar tidak ada tuty-tuty selanjutnya
pemerintah Indonesia harus juga melakukan proses pencegahan sampai dengan
penanggulangan kasus-kasus seperti ini, kasus ini sangat sering terjadi karena
proses pencegahan, pengawasan dan penanganan yang sangat kurang. Proses pencegahan
seharusnya bisa ditanggulangi sejak TKW ada di Indonesia dengan memberikan
pembekalan khusus, jika terjadi pelecehan maupun tindak kekerasan yang dialami.
Begitupun dengan KEDUBES Indonesia yang ada di
Luar Negri, sebagaimana tupoksinya yaitu mengurus kepentingan warga negaranya
yang ada di negara lain. Tentunya harus melakukan proses pengawasan dan
konsultasi secara berkala dan intensif kepada Tenaga Kerja Indonesia.
Ketika
kasus ini terjadi Pemerintah Indonesia harus tetap mendampingi ataupun meringkan
beban keluarga yang ditinggalkan. Kemudian diberinya fasilitas pendampingan
hukum untuk perempuan terpidana mati, untuk mengintegrasi pembelaan yang
berspektif HAM perempuan, melihat sangat masifnya kekerasan berbasis gender
terkhusus pelecehan seksual yang menjadi pemicu terdakwa melakukan perlawanan
dengan kekerasan yang akhirnya membawa mereka berhadapan dengan hukum. Bekerja
diranah domestik/privat akan sulit mencari saksi, bekerja sebagai PRT cenderung
diposisikan tidak memiliki tawar, dikarenakan adanya relasi kuasa termasuk
sebagai PRT dan warga asing yang tidak memahami bahasa dimana tempat dia
bekerja, yang berpotensi menghalangi akses keadilan karena kejahatan berbasis
ketubuhan tersebut.
Eva Nurcahyani
Aktivis Perempuan Banten
0 komentar:
Posting Komentar